Ciuman Pertama Aruna

IV-238. "Bukan begitu, Sayang,"



IV-238. "Bukan begitu, Sayang,"

0"Apa USG 4D bisa mendeteksi warna mata?" tanya Aruna sekali lagi.     

.     

"kamu menggodaku ya?" tawa renyah Mahendra mengiyakan tuduhan istrinya, "kenapa aku begitu mudah kau bodohi?" mulut Aruna ditekuk, dia tidak senang dengan situasi ini. Walaupun Hendra seolah sedang menikmati caranya menjahili sang istri.     

"Tidak ada yang membodohi istriku, mana mungkin aku berani?" Hendra mengusir tangan Susi dari pegangan kursi roda istrinya.     

Dan Aruna menoleh ke belakang, "biar Susi yang membawaku,"     

"Oh' marah sungguhan rupanya," Hendra mundur selangkah dan membiarkan Susi mengambil alih. Lelaki bermata biru tersebut akhirnya memilih berjalan di sisi istrinya yang konsisten menatap sengit padanya.     

"Aku rasa ada sesuatu yang perlu aku pastikan selain warna matanya," Aruna enggan memberi jawaban sebab ia tahu kemungkinan kalimat berikutnya adalah cara Mahendra menggodanya untuk kesekian kali, "Benar, kamu tidak ingin tahu?"     

"Tidak..."     

"Ayolah, aku tahu kamu penasaran,"     

"tidak siapa bilang?"     

"Wajahmu berkata?"     

"Jadi kamu seorang peramal yang bisa membaca garis wajah?"     

"bukan begitu, sayang," mereka berdebat, dalam balutan senyuman menawan sang lelaki. Senyum yang jarang terlihat, "Ah, terserah, aku akan tetap memberitahumu apa yang ku diskusikan dengan dokter,"     

Kini yang tersenyum Aruna, sebab walaupun pada awalnya dia lah yang dijahili akan tetapi detik ini dia lah yang memenangkan perdebatan. Dia juaranya dalam hal membuat Mahendra menyerah dan mengalah, saat seluruh orang dalam lingkaran lelaki bermata biru ini bahkan tak berani berdebat dengannya.     

"Aku, em.. ini kejutan," lelaki ini berbelit-belit, alis Aruna mengerut.     

"Jangan lakukan itu, bicara cepat!"     

"Ha-ha-ha," dan Hendra sekali lagi spontan tertawa lantang.     

Keduanya tak menyadari saat seseorang dari arah berlawanan tampak terkejut berpapasan dengan sepasang suami istri ini. Seorang perempuan berumur berjalan lambat sembari menoleh menatap keduanya lamat-lamat.     

Rambut putihnya disembunyikan dengan mengenakan topi bulat berwarna krem, motif aksesoris yang berupa pita terlihat menjuntai menutupi sedikit arah pandangnya. Dia sibak pita menjuntai tersebut demi melihat lebih detail lelaki dan perempuan yang tak asing baginya.     

"Mendekatlah padaku," dia berbisik selepas kursi roda Aruna dan Mahendra menghilang dari pandangan.     

"Ya, nyonya," seseorang berpakaian formal sigap mendekat.     

"Apakah Gibran sudah mempersiapkan pernikahannya?"     

"Nanti saya tanyakan pada CEO Gibran,"     

"Tanyakan sekarang!" dia menyentak, matanya menyala-nyala, entah apa yang terjadi padanya. Wajah tuannya menyuguhkan amarah mendalam, "Wiryo sebentar lagi merayakan keberhasilannya. Sedangkan anak itu, masih saja bermain-main! Gerutunya sepanjang langkah kaki yang diambil.     

.     

.     

Kursi roda Aruna kini mendekati sebuah ruangan. Perempuan bermata coklat itu tampak memicingkan mata. Ia tidak asing dengan wajah dua anak yang duduk pada kursi memanjang yang berada di dekat pintu. Anak muda berseragam SMA dan seorang gadis kecil kuncir dua berseragam Sekolah Dasar.     

Aruna lekas menoleh pada Susi. Susi sekilas menyajikan senyum kecut. Perempuan tersebut tengah memberitahu sebuah kebenaran tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya.     

'jadi junior yang dimaksudkan Susi, Kihrani?' Aruna belum yakin terhadap kenyataan yang dia dapati detik ini.     

Sampai gadis kecil kuncir dua bangkit dari duduknya dan menatapnya. Mata gadis itu sama persis dengan mata ajudannya. Aruna tidak ingat siapa nama gadis ini.     

Namun, dia tidak melupakan bagaimana gadis kecil ini menatapnya dengan cara yang sama tatkala dulu dirinya mendatangi rumah sederhana di sebuah kampung pinggir sungai.     

Si pemuda berseragam SMA lekas menarik mundur adiknya, membawanya ke belakang tubuhnya seperti sedang mengamankan sang adik.     

Aruna bisa melihat emosi kekecewaan walaupun pemuda tersebut tidak mengucapkan sepatah kata pun, air mukanya merah padam.     

"Aku harus menemui Thomas," ini suara Hendra, "Jaga istriku Susi," Spontan Susi mengangguk dan Hendra membalik tubuhnya. Lelaki bermata biru tersebut berjalan ke ruangan sebelah.     

"Apa aku boleh masuk?" Suara ini terdengar seperti bujukan.     

Mata yang menatap tajam Aruna kini menunduk pasrah selepas tangan perempuan yang memakai seragam kerja serupa dengan yang tiap hari dikenakan kakaknya mengelus pundak pemuda tersebut.     

"Hanya seorang yang diizinkan masuk," desah Ricky, pemuda itu bergerak lemah membuka pintu dan dengan suara sama lemahnya dia memanggil, "Bapak..." sebelum seorang lelaki keluar dan digantikan oleh perempuan hamil di atas kursi roda.     

"Nona," suara ini milik Kihrani.     

"Aku minta maaf," Aruna meraih tangan perempuan yang bagian tubuhnya lebih banyak tertutup selimut.     

Luka di wajah Kihrani dan gundukan di balik selimut bagian bawah menjadikan Aruna sadar, kaki perempuan di hadapannya berbeda ukuran. Kemungkinan salah satunya bermasalah.     

"Aku yakin, aku dan keluargaku penyebabnya,"     

Khirani menggelengkan kepalanya, "Aku-,"     

"Hus! Diamlah," Aruna memotong kalimat Kihrani, "cepatlah pulih," perempuan di atas kursi roda menghantarkan genggaman kuat pada telapak tangan ajudannya.     

"Kepulihanmu yang utama saat ini," suara Aruna bergetar. Sesaat berikutnya keheningan merajai ruangan yang dihuni dua perempuan ini.     

Kihrani bingung harus berkata apa, sedangkan Aruna tengah hanyut di bawa rasa duka dan tanda tanya yang tak mungkin dia suarakan detik ini.     

"Anda tidak ingin tahu apa yang terjadi pada saya?" seperti umpan yang diluncurkan untuk membunuh keheningan. Aruna bangun dari lamunan, tanda tanya Kihrani menyadarkannya.     

"Layakkah aku bertanya padamu di kondisi seperti ini?" pertanyaan dibalas dengan pertanyaan. Keduanya bertautan mata.     

"sangat layak, selama aku mampu mengingat dan menceritakan kejadian yang aku alami, kenapa tidak nona?"     

Sikap inilah yang disukai Aruna dari gadis tersebut. Dia bukan sekedar lugas, Kihrani cukup pemberani di balik pembawaannya yang terlihat jutek.     

Mata gadis itu menatap pintu.     

"kamu ingin aku mengunci pintu?" dan dia yang ditanya mengangguk.     

Aruna memutar kursi rodanya dan dengan bersemangat perempuan ini benar-benar menguncinya.     

Dari kalimat: "nona, mereka mencari Rey," dan segala yang dialami di ceritakan secara gamblang oleh gadis itu.     

Sesuatu yang tidak diprediksi siapapun bahwa perempuan hamil tersebut terlihat begitu kuat mendengarkan narasi tiap-tiap kronologi yang disampaikan ajudannya.     

.     

.     

"Tuan, ajudan istri Anda dan keluarganya mustahil tinggal di pemukiman umum," lelaki berambut platinum dengan memar hampir seluruh wajah menyuarakan sebuah pemikiran, "mereka menangkap Kihrani dengan cara mendatangi rumahnya, untung kami bisa menyelamatkan keluarga gadis itu, walaupun tidak dengan dia dan saya,"     

Mahendra detik ini terlihat memutari ranjang Thomas. Tuan Muda Djoyodiningrat menggeser kursi dan menyeretnya mendekati ranjang CEO DM group.     

"Haruskan aku memindahkan mereka ke rumah induk?"     

"Sepertinya akan terlihat aneh, belum ada keluarga ajudan yang mendapatkan izin tinggal di rumah induk, selain itu Kihrani memiliki dua orang adik dan seorang bapak. Mereka cukup asing dengan kehidupan keluarga Anda. Bakal sulit menyesuaikan diri," Thomas begitu hati-hati memberi penjelasan.     

"Oh, bukankah dia kekasih Vian? Aku akan bicarakan ini dengannya. Vian tentu-,"     

"Tidak!!" tiba-tiba Thomas memekik.     

Dia bangkit begitu saja, "Arh!!" Dan detik berikutnya terdengar pekikan kedua, lebih lantang. Thomas baru menyadari tubuhnya tidak mengizinkan.     

"Kau ini kenapa?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.